Jumat, 15 Juli 2011

Askep Blefaritis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini banyak sekali masyarakat yang tidak peduli akan kesehatan dirinya. Sehingga memunculkan masalah-masalah kesehatan terutama gangguan pada indra penglihatan, salah satunya adalah bagian kelopak mata. Biasanya masyarakat menganggap remeh penyakit ini karena mereka beranggapan bahwa penyakit ini akan segera hilang. Padahal bila tidak ditangani dengan serius maka akan muncul berbagai komplikasi dari penyakit ini seperti Blefaritis salah satunya. Selain itu, penyakit ini juga dapat mengganggu pencitraan dirinya. Disinilah peran tenaga medis sangat dibutuhkan bagi masyarakat sebagai upaya memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat.

1.2  Tujuan Penulisan
  • Dapat mengetahui pengertian blefaritis
  • Mampu menyebutkan penyebab terjadinya blefaritis
  • Dapat menyebutkan bagaimana tanda dan gejala dari  penyakit blefaritis
  • Mengetahui tentang klasifikasi dari blefaritis
  • Mampu menyebutkan faktor pencetus dari penyakit blefaritis
  • Dapat mengetahui komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit blefaritis
  • Pasien dan keluarga dapat mengetahui pengobatan dari penyakit blefaritis
1.3 Metode Penulisan
Dalam makalah ini kami menggunakan metode kajian pustaka dimana kami menggunakan sumber dari buku-buku serta tambahan sumber dari internet yang terkait dengan makalah yang kami buat.
BAB II

PEMBAHASAN
JENIS KELAINAN KELOPAK MATA
1. Hordeolum
Peradangan akut/supuratif kelenjar kelopak mata.
E/ Stphylococ.
Ada 2 macam :
a. Hordeolum Internum (meibom)
b. Hordeolum Externum (zeis,mol)
Gejala :
-   Bengkak
-   mengganjal
-   merah
-   ptosis

Penatalaksanaan
B/ pluktuasi negatif(benjolan tidak terlalu keras) → kompres hangat 10-15 menit, 3 kali sehari
B/ Fluktuasi positif (benjolan luas, ada nanah, keras) :
-   cloramphenicol salf mata.
-  Tetra siklin 500mg 3x1 (tidak boleh diberikan pada anak-anak karena akan menghambat pertumbuhan gigi).
-   Mefenamic acid 3x1 (untuk nyeri)
B.P Insisi

2. Kalazion

Peradangan granulmatosa (benjolan-benjolan kecil) kelenjar meibom.
E/ Infeksi ringan → tersumbat (peradangan kronis)
Gejala :
-  Benjolan kelopak mata

Penatalaksanaan → sama seperti Hordeolum.

3.  Blefaritis

Infeksi kronik pada pinggir kelopak mata.
Ada 2 macam :
a.       Skuamosa → disebabkan oleh ketombe dan sering menempel pada bulu mata.
b.      Ulseratif (Staphylococ) → merusak pangkal bulu mata.

Gejala : Iritasi, rasa panas, gatal.
4. Meibomitis

Peradangan  kronik kelenjar meibom.
Gejala : mata merah, iritasi, sekret sedikit tapi terus-menerus, pinggir margo merah, konjungtiva berbusa.

Perawatannya sama ditambah dengan antibiotik.
Abses palpebra → Nanah yang luas dan perlu penanganan serius.

Komplikasi dari : Hordeolum, Bleparitis, dll.

5.  Herpes zoster oftalmik

E/ Ulnes Herpes Zoster
G/ :
-    Nyeri hebat
-    panas pada kelopak mata
-    odema
-    krusta
Perawatan : Dibersihkan dengan NaCl ditambah diisi dengan salep asiklopir.
Kelainan Posisi Kelainan Kelopak Mata
1.   Entropion
      Margo palpebra mengarah ke dalam bola mata.
2.   Ektropion
      Margo palpebra mengarah ke luar.
3.   Ptosis
      Jatuhnya palpebra superior dalam keadaan mata terbuka.

2.1   KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1.1   Definisi

Blefaritis adalah radang pada kelopak mata, sering mengenai bagian kelopak mata dan tepi kelopak mata. Pada beberapa kasus disertai tukak atau tidak pada tepi kelopak mata, biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut.
Blefaritis adalah peradangan bilateral sub akut/menahun pada tepi kelopak mata (margo palpebra).
Blefaritis adalah inflamasi pada pinggir kelopak mata biasanya disebabkan oleh sthopilokokus.

Ada 2 macam blefaritis :
a.   Infeksi yang terjadi pada kelopak mata
Pada kasus ini bulu mata rontok dan tidak diganti oleh yang baru karena ada destriksi folikel rambut. Pada pangkal rambut terdapat sisik kering (krusta) berwarna kuning pada bulu mata. Palpebra merah (mata”bertepi merah”)
b.  Blefaritis seborrheik
Inflamasi kelenjar kulit didalam bulu mata/kelenjar bulu mata. Pada kasus ini bulu mata cepat jatuh tetapi dapat diganti yang baru karena tidak ada destruksi folikel rambut. Didapatkan skuama (sisik berminyak) tepian palpebra tidak begitu merah.

2.1.2  Epidemiologi

Pada 5% dari total jumlah penyakit mata yang dilaporkan pada rumah sakit (sekitar 2-5% berasal dari konsultasi pasien yang punya kaitan dengan penyakit mata). Insidensi blefaritis menurut WHO : Blefaritis staphylococcal sering terjadi pada wanita pada usia rata-rata 42 tahun dan biasanya disertai dengan mata kering pada 50% kasus, blefaritis seboroik umumnya terjadi pada pria dan wanita pada rata-rata usia 50 tahun dan disertai mata kering pada 33% kasus, sedangkan pada blefaritis meibom juga umum terjadi pada pria dan wanita pada usia rata-rata 50 tahun, dan disertai syndrom mata kering sekitar 20-40%.

2.1.3   Etiologi

Berdasarkan penyebabnya blefaritis dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Blefaritis Ulseratif
Penyebabnya adalah staphylococcus aureus (stafilikokus epidermis).
2. Blefaritis Non-Ulseratif
Penyebabnya adalah kelainan metabolisme dan jamur pitirusponem ovale.

Secara umum :
Infeksi/alergi yang biasanya berjalan kronik/akibat disfungsi kelenjar meibom. Contoh : Debu, asap, bahan kimia, iritatif/bahan kosmetik.

Infeksi bakteri stafilokok, streptococcus alpha/beta hemolyticus, pnemokok, psedomonas, demodex folliculorum, hingga pityrosporum ovale.
Infeksi oleh virus disebabkan herpes zoster, herpes simplex, vaksinia dan sebagainya.
Jamur dapat menyebabkan superfisial (sistemik).

Blefaritis dapat disebabkan infeksi staphlococcus, dermatitis seboroik, gangguan kelenjar meibom, atau gangguan dari ketiganya. Blefaritis anterior biasanya disebabkan karena infeksi staphylococcus aureus, didapatkan pada 50% pada pasien yang menderita blefaritis, tapi hanya 10% orang yang tidak memberikan gejala blefaritis namun ditemukan bakteri staphylococcus. Infeksi staphylococcus epidermis didapatkan sekitar 95% pasien. Blefaritis seboroik serupa dengan dermatitis seboroik, dan posterior blefaritis (meibomian blefaritis) disebabkan gangguan kerja kelenjar meibom. Kelenjar meibom yang ada sepanjang batas kelopak mata, dibelakang batas bulu mata, kelenjar ini menghasilkan minyak ke kornea dan konjungtiva. Kelenjar ini disekresikan dari lapisan luar air mata yang bisa menghambat penguapan air mata, dan membuat permukaan mata menjadi tetap halus, serta membantu menjaga struktur dan keadaan mata. Sekresi protein pada pasien yang menderita kelainan kelenjar meibom berbeda komposisi dan kuantitas dari orang dengan mata normal. Ini menjelaskan kenapa pada pasien dengan kelainan kelenjar meibom jarang menderita sindrom mata kering. Kelenjar meibom berasal dari glandula sebasea.

2.1.5   Faktor Predisposisi
Sebenarnya yang mempengaruhi untuk terjadinya blefaritis, khususnya Staphylococcus Aureus, Stafilokokus epidermis ada faktor lainnya yaitu :

1. Kelainan metabolisme
2. Jamur pitirusporum ovale
3. Sebosea/ketombe
4. Kurangnya mengkonsumsi vitamin
5. Hygiene yang buruk

2.1.6 Klasifikasi

1.  BLEFARITIS BAKTERIAL
a.  Blefaritis Superfisial
Bila infeksi kelopak superfisial disebabkan oleh staphylococcus maka pengobatan yang terbaik adalah dengan salep antibiotik seperti sulfasetamid dan sulfisolksazol. Sebelum pemberian antibiotik krusta diangkat dengan kapas basah. Bila terjadi blefaritis menahun maka dilakukan penekanan manual kelenjar meibom untuk mengeluarkan nanah dari kelenjar meibom (Meibormianitis), yang biasanya menyertai.

b.  Blefaritis Seboroik
Merupakan peradangan menahun yang sukar penanganannya. Biasanya terjadi pada laki-laki usia lanjut (50 tahun), dengan keluhan mata kotor, panas, dan rasa kelilipan. Gejalanya adalah sekret yang keluar dari kelenjar meiborn, air mata berbusa pada kantus lateral, hiperemia, dan hipertropi pupil pada konjungtiva. Pada kelopak dapat terbentuk kalazion, hordeolum, madarosis, poliosis, dan jaringan keropeng. Pengobatannya adalah dengan membersihkan menggunakan kapas lidi hangat. Kompres hangat sela 5-10 menit. Kelenjar meibom ditekan dan dibersihkan dengan shampo bayi.
c.  Blefaritis Skumosa
Blefaritis skuamosa adalah blefaritis disertai adanya skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak mengakibatkan terjadinya luka kulit. Merupakan peradangan tepi kelopak terutama yang mengenai kulit didaerah akar bulu mata dan sering terdapat pada orang yang berambut minyak. Penyebabnya adalah kelainan metabolik ataupun oleh jamur. Pasien dengan  blefaritis skuamosa akan terasa gatal dan panas. Pada blefaritis skuamosa terdapat sisik berwarna halus-halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis. Sisik ini mudah dikupas dari dasarnya mengakibatkan pendarahan. Pengobatan blefaritis skuamosa ialah dengan membersihkan tepi kelopak dengan shampo bayi, salep mata, dan steroid setempat disertai dengan memperbaiki metabolisme pasien.
d.   Blefaritis Ulseratif
Merupakan peradangan tepi kelopak atau blefaritis dengan tukak akibat infeksi staphylococcus. Pada blefaritis ulseratif terdapat keropeng berwarna kekuning-kuningan yang bila diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan mengeluarkan darah disekitar bulu mata. Pada blefaritis ulseratif skuama yang terbentuk bersifat kering dan keras, yang bila diangkat akan terjadi luka dngan disertai pendarahan. Pengobatan dengan antibiotik dan higiene yang baik sedangkan pada blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid, gentamisin atau basitrasin. Apabila ulseratif mengalami peluasan, pengobatan harus ditambah antibiotik sistemik dan diberi roboransia.
e.  Blefaritis Angularis
Merupakan infeksi staphlococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus. Blefaritis angularis yang mengenai sudut kelopak mata (kantus eksternus dan internus) sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi puntum lakrimal. Blefaritis angularis disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Kelainan ini biasanya bersifat rekuren. Befaritis angularis diobati dengan sulfa, tetrasiklin dan seng sulfat. Penyulit pada punctum lakrimal bagian medial sudut mata yang akan menyumbat duktus lakrimal.
f.   Blefaritis Meibomianitis
Merupakan infeksi pada kelenjar meibom yang akan mengakibatkan tanda peradangan lokal pada kelenjar tersebut. Meibomianitis menahun perlu pengobatan kompres hangat, penekanan dan pengeluaran nanah dari dalam berulang kali disertai antibiotik lokal.

2.  BLEFARITIS VIRUS
a.   Herpes Zoster
Virus ini dapat memberikan infeksi pada ganglion saraftrigeminus Biasanya virus ini akan mengenai orang dengan usia lanjut. Bila yag terkena ganglion cabang oftalmik maka akan terlihat gejala-gejala herpes zoster pada mata dan kelopak mata atas. Gejala tidak akan melampaui garis medin kepala dengan tanda-tanda yang terlihat pada mata adalah rasa sakit pada daerah yang terkena dan badan terasa demam. Pada kelopak mata terlihat vesikel dan infiltrat pada kornea bila mata terkena. Lesi vesikel pada cabang oftalmik saraf trigeminus superfisial merupakan gejala yang khusus pada infeksi herpes zoster mata.
     
b.  Herpes Simplex
Vesikel kecil dikelilingi eritema yang dapat disertai dengan keadaan yang sama pada bibir merupakan tanda herpes simplex kelopak. Dikenal bentuk blefaritis simplex yang merupakan radang tepi kelopak ringan dengan terbentuknya krusta kuning basah pada tepi bulu mata, yang mengakibatkan kedua kelopak lengket.
3.  BLEFARITIS JAMUR
1.   Infeksi superfisial
2.   Infeksi jamur dalam
3.  Blefaritis pedikulosis : kadang-kadang pada penderita dengan higiene yang buruk akan dapat bersarang tuma atau kutu pada pangkal silia di daerah margo palpebra.

2.1.3    Gambaran klinik
Gejala :
Blefaritis menyebabkan kemerahan dan penebalan, bisa juga terbentuk sisik dan keropeng atau luka terbuka yang dangkal pada kelopak mata.
Blefaritis bisa menyebabkan penderita merasa ada sesuatu di matanya. Mata dan kelopak mata terasa gatal, panas, dan menjadi merah. Bisa terjadi pembengkakan kelopak mata dan beberapa helai bulu mata rontok.
Mata menjadi merah, berair dan peka terhadap cahaya terang. Bisa juga terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata; jika keropeng dilepaskan, bisa terjadi pendarahan.
Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka.

Tanda :

    Skuama pada tepi kelopak
    Jumlah bulu mata berkurang
    Obstruksi dan sumbatan duktus meibom
    Sekresi Meibom keruh
    Infeksi pada tepi kelopak
    Abnormalitas film air mata.

2.1.7   Pemeriksaan Fisik
   -   Visus
      -   Pemeriksaan (loupe, slit lamp) : permukaan konjungtiva, kornea, COA, Iris dan pupil
      -   Palpasi : Odema kelopak mata, kejang kelopak mata.

2.1.8   Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mengetahui penyebabnya: 
a. Uji Laboratorium
b. Radiografi
  -   Fluorescein Angiografi
  -   Computed Tomografi
  -   Pemeriksaan dengan slit lamp
                                                                                                         
2.1.9    Pengobatan
Pengobatan tergantung dari jenis blefaritisnya, namun kunci dari semua jenis blefaritis adalah menjaga kebersihan kelopak mata dan menghindarkan dari kerak. Sangat dianjurkan untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan bedak atau kosmetik saat dalam penyembuhan blefaritis, karena jika kosmetik tetap digunakan maka akan sulit untuk menjaga kelopak mata tetap bersih. Kompres dengan air hangat untuk mengurangi kerak. Bila belum terjadi komplikasi bahan pembersih seperti campuran air dan shampo bayi atau dengan menggunakan produk pembersih kelopak mata dapat pula  dipergunakan. Untuk kasus yang disebabkan oleh infeksi bakteri, antibiotik dapat dipergunakan sedangkan untuk membasmi bakteri terkadang diberikan salep antibiotik (misalnya erythroicyn atau sulfacetamide) atau antibiotik per oral (misalnya tetracycline).
Jika terdapat dermatitis seboroik maka harus diobati terlebih dahulu. Jika terdapat kutu, bisa dihilangkan dengan mengoleskan dengan jeli petroleum pada dasar bulu mata. Jika kelenjar kelopak mata tersumbat, maka perlu dilakukan pemijitan pada kelopak mata untuk mengeluarkan sisa yang mengumpul sehingga bisa menghambat aliran kelenjar kelopak mata. Cairan air mata buatan atau minyak pelembut disarankan pada beberapa kasus. Jika pasien menggunakan lensa kontak, sebaiknya disarankan untuk menghentikan pemakaiannya terlebih dahulu selama proses pengobatan. Blefaritis tidak dapat disembuhkan secara sempurna meski pengobatan telah berhasil, kemungkinan kembali terserang penyakit ini sangat mungkin terjadi.

2.1.10   Komplikasi
Komplikasi yang berat karena lefaritis jarang terjadi. Komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien yang menggunakan lensa kontak. Mungkin sebaiknya disarankan untuk sementara waktu menggunakan alat bantu lain seperti kaca mata sampai gejala blefaritis hilang.

Syndrome mata kering
Adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada blefaritis. Syndrome mata kering (keratokonjungtivis sica) adalah kondisi dimana mata pasien tidak bisa memproduksi air mata yang cukup, atau air mata menguap terlalu cepat. Ini bisa menyebabkan mata kekurangan air dan menjadi meradang. Syndrome ini dapat terjadi karena dipengaruhi gejala blefaritis, dermatitis seboroik, dan dermatitis rosea, namun dapat juga disebabkan karena kualitas air mata yang kurang baik.
Gejalanya ditandai dengan nyeri atau kering, sekitar mata, dan ada yang mengganjal di dalam mata dengan penglihatan yang buram. Semua gejala tersebut dapat dihilangkan dengan menggunakan obat tetes mata yang mengandung cairan yang dibuat untuk bisa menggantikan air mata.

Konjungtivitis
Adalah peradangan pada mata. Ini terjadi ketika ada bakteri didalam kelopak mata. Kondisi ini menyebabkan efek buruk pada penglihatan. Pada banyak kasus konjungtivitis akan hilang setelah dua atau tiga minggu tanpa perlu pengobatan. Antibiotik berupa obat tetes mata disarankan untuk mengurangi gejala, atau untuk menghindari infeksi berulang. Akan tetapi, pada beberapa kasus masih didapatkan bahwa penggunaan antibiotik tetes tidak lebih cepat memperbaiki kondisi dibanding dengan menunggu sampai kondisi itu kembali lagi tanpa pengobatan apapun.

Kista meibom
Adalah pembengkakan yang terjadi pada kelopak mata. Ini bisa terjadi ketika salah satu kelenjar meibom meradang da menyebabkan blefaritis. Kista umumnya tapa rasa sakit, kecuali jika disertai dengan infeksi, yang memerlukan antibiotik. Penggunaan kompres hangat untuk kista bisa membuat kista mengecil, akan tetapi kista itu sering menghilang dengan sendirinya. Jika kista tetap ada, ini dapat dihilangkan dengan bedah sederhana dengan anastesi lokal.

Bintil pada kelopak mata
Bintil pada  kelopak mata ini merupakan benjolan yang nyeri yang terbentuk di luar kelopak mata. Ini disebabkan karena infeksi bakteri pada folikel bulu mata ( yang berlokasi di dasar bulu mata). Pada kasus ringan bisa disembuhkan dengan kompres hangat pada daerah sekitar bintil. Namun, pada kasus yang berat perlu diberikan antibiotik salep dan tablet.

2.1.11   Prognosis
Bisa menyebabkan komplikasidan terjadi kekambuhan. Namun, blefaritis tidak menyebabkan kerusakan pandangan dan penglihatan.

2.2     KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
3.2.1 Pengkajian
a.       Data Subjektif
·        Orang dengan radang mata dapat mengeluh gatal-gatal
·        Nyeri (ringan sampai berat) pada kelopak mata
·        Lakrimasi (mata selalu berair)
·        Sensitif terhadap cahaya (fotopobia)
·        Kejang kelopak mata (blepharospasme)
·        Gelisah akibat gatal-gatal/nyeri
·        Penderita merasa ada sesuatu di matanya
·        Malu dan kurang percaya diri akibat efek dari penyakitnya (bulu mata rotok dan tidak terganti)
·        Pandangan mata kabur dan ketajaman penglihatan menurun

b.      Data objektif
·        Kemerahan
·        Edema kelopak mata
·        Pengeluaran pus
·        Kelopak mata dapat menjadi rapat ketika tidur
2.2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1.      Nyeri akut b/d iritasi peningkatan secret dan fotofobia sekunder akibat peradangan di margo papebra d/d kelopak mata dapat menjadi rapat ketika tidur, sensitive terhadap cahaya, rasa panas pada mata , skala nyeri 1-6
2.      Gangguan persepsi sensori perseptual b/d tergeseknya kornea  d/d pandangan kabur, ketajaman mata menurun
3.      Kerusakan integritas kulit  b/d pelepasan lapisan tanduk di kulit dan di daerah bulu mata,pelepasan krusta warna kuning d/d adanya skuama /sisik, bulu mata lengket, gatal-gatal.
4.      Harga diri rendah b/d bulu mata rontok dan tidak diganti dg yang baru d/d klien malu  tidak pecaya diri
5.      Ansietas b/d penyakit yang diderita d/d klien tampak cemas dengan penyakitnya
6.      Kurang pengetahuan (tentang penyakit dan penatalaksanaannya) yang b/d keterbatasan informasi d/d OS menggosok-gosok mata, mengeluh gatal-gatal,kemerahan
7.      Resiko cedera b/d gangguan penglihatan , fotopobia ,adanya secret mukopurulen, menempelnya bulu mata
2.2.3 Intervensi Keperawatan

- Dx I :
kriteria : Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri dapat ditoleransi dg KH klien:
-          Mengalami perbaikan keluhan
-          Menjelaskan tanda-tanda perbaikan keluhan
-          Skala nyeri 0-1
intervensi :
1. Observasi tingkat nyeri
2. Observasi TTV
3. Jelaskan penyebab nyeri
4. Kompres daerah mata dengan air hangat
5. Oleskan kelopak yang sudah dibersihkan dgn obat salep mata,menggunakan aplikator kapas (yang meliputi antibiotika, antistafilokok, sulfonamide, AgNO3 1% - 2% untuk blefaritis ulseratif, kortikosteroid untuk peradangan.

Rasional :

1. Mengetahui tingkat nyeri untuk memudahkan intervensi selanjutnya
2. Untuk mengetahui (TD, Nadi,Suhu,Pernafasan )
3. Untuk menambah pengetahuan pasien
4. Kompres menggunakan air hangat dapat mengurangi rasa nyeri
5. Mengurangi peradangan dan mencegah terjadinya infeksi lebih lanjut

Dx II :
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapt melihat  normal dgn KH : Peningkatan ketajaman penglihatan dalan batas situasi individu.
intervensi :
1.      Observasi kemampuan melihat . mengorientasikan pasien terhadap lingkungan dan aktifitas.
2.      Menjelaskan terjadinya gangguan persepsi penglihatan
rasional :
1.      Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan melihat
2.      Untuk meningkatkan pemahaman dan mengurangi ansietas pasien

Dx III :
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi dgn KH:
-          Skuama/sisik berkurang
-          Gatal berkurang sampai hilang
-           Bulu mata tidak lengket
intervensi :
1.      Kopmpres tepi kelopak mata 3 kali atau sesuai kebutuhan , sambil menekan-nekan kelenjar untuk mengeluarkan isinya.
2.      Kolaborasi pemberian salep mata
rasional :
1.      Kompres membersihkan tepi kelopak mata dari krusta /skuama
2.      Dapat mengurangi terjadinya iritasi lebih lanjut

Dx IV :
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien tidak merasa malu dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan fisiknya dgn KH : pasien dapat menyatakan gambaran diri lebih nyata.

intervensi :
1.     Kaji tingkat ansietas, pengalaman dan pengetahuan Klien tentang kondisi saat ini.
2.   Berikan informasi yang akurat dan jujur tentang penyakitnya dan beri tahu bahwa pengawasan dan pengobatan dapat mencegah gangguan penglihatan .
3.     Dorong klien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaannya.

rasional :
1.   Ansietas, pengalaman dan pengetahuan dapat mempengaruhi persepsi klien tehadap penyakit,penerrimaan klien dan upaya klien untuk mengontrol penyakit.
2.  Mengurangi ansietas dan memberikan dasar fakta untuk menerima informasi tentang pengobatan
3.  Member kesempatan menerima situasi nyata, mengklarifikasi salah konsepsi dan pemecahan masalah.


Dx V :
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan klien tidak cemas lagi dan dapat beradaptasi terhadap penyakitnya dgn KH :
-    Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakitnya
-    Klien menerima penyakt yang dialami
intervensi :
1.  Tekankan dan beri tahu klien tetang penting nya perbaikan keadaan umum, meliputi kebersihan perorangan terutama mata dan peningkatan gizi.
2.  Anjurkan klie n untuk tidak mengerjakan pekerjaan dekat terlalu lama.
3.  Anjurkan klien untuk tidak merokok.
rasional :
1.  Ansietas, pengalaman dan pengetahuan dapat mempengaruhi persepsi klien tehadap penyakit,penerrimaan klien dan upaya klien untuk mengontrol penyakit.
2.  Mengurangi ansietas dan memberikan dasar fakta untuk menerima informasi tentang pengobatan
3.  Member kesempatan menerima situasi nyata, mengklarifikasi salah konsepsi dan pemecahan masalah.

Dx VI :
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x60 mnt diharapkan klienmendapat informasi yang cukup tentang tindakan yang akan dilakukan dgn KH:
-   Mengetahui dan mampu menyebutkan kembali tintakan yang harus dilakukan untuk meningkatkan keadaan umum, penggunaan obat-obatan.
intervensi :
1. Tekankan dan beri tahu klien tetang penting nya perbaikan keadaan umum, meliputi kebersihan perorangan terutama mata dan peningkatan gizi.
2.  Anjurkan klie n untuk tidak mengerjakan pekerjaan dekat terlalu lama.
3.  Anjurkan klien untuk tidak merokok.
4. Beri tahu klien bahwa pengobatan harus dilakukan secara teratur dan tuntas.

rasional :
1. Blefaritis dapat timbul karena penurunan status kesehatan dan malnutrisi.
2. Akomodasi mata yang berlebihan akan menimbulkan kelelahan pada mata
3. Pemajanan asap pada mata akan memperhebat iritasi pada mata.
4. Pengobatan yang tidak memadai akan membuat blefaritis dari kedua tipe bercampur dan menjadi menahun serta menimbulkan berbagai macam komplikasi dan kerusakan kornea karena timbulnyatrikiasis Memberikan data

2.2.4 Evaluasi
1. Untuk diagnose pertama
- Evaluasi  Tujuan tercapai
Ø  Iritasi berkurang, sekret menurun
Ø  Nyeri berkurang sampai hilang
Ø  OS dapat menjelaskan tanda – tanda perbaikan
2. Untuk diagnose kedua
- Evaluasi  Tujuan tercapai
Ø  Pandangan tidak kabur
Ø  Ketajaman penglihatan meningkat
3. Untuk diagnose ketiga
- Evaluasi  Tujuan tercapai
Ø  Skuama/sisik berkurang
Ø  Gatal berkurang sampai hilang
Ø  Bulu mata tidak lengket
4. Untuk diagnose keempat
- Evaluasi Tujuan tercapai
Ø  Pasien dapat menyatakan gambaran diri lebih nyata
5. Untuk diagnose kelima
- Evaluasi Tujuan tercapai
Ø  Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakitnya
Ø  Klien menerima penyakit yang dialami

6. Untuk diagnose keenam
- Evaluasi Tujuan tercapai
Ø  Mengetahui dan mampu menyebutkan kembali tindakan yang harus dilakukan untuk meningkatkan keadaan umum, penggunaan obat – obatan
7. Untuk diagnose ketujuh
- Evaluasi Tujuan tercapai
Ø  Mendemonstrasikan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas dalam cara yang aman
Ø  Mengungkapkan pemahaman tentang pembatasan yang dibutuhkan

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Blefaritis adalah peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan kelopak mata yang berminyak. Disebabkan karena bakteri jamur dan virus atau juga karena gangguan aliran kelenjar meibom pada kelopak mata. Blefaritis memberikan gejala mata merah, berair dan nyeri, serta rontoknya bulu mata. Blefaritis sebenarnya bisa hilang tanpa pengobatan, karena prinsip utama pengobatan blefaritis adalah kebersihan kelopak mata, namun untuk membantu mempercepat penyembuhan biasanya diberikan theraphy khusus sesuai dengan penyebab dari blefaritis tersebut.

3.2 Saran
Dengan pembuatan makalah ini diharapkan mahasiswa lebih gampang mempelajari terapan ilmu keperawatan khususnya pada system persepsi sensori mengenai penyakit Blefaritis.
Dengan pembuatan makalah ini, diharapkan para pembaca akan lebih memahami mengenai penyakit pada mata khususnya penyakit Blefaritis. Sehingga diharapkan kita dapat lebih menjaga kebersihan diri kita khususnya mata, agar mata kita dapat terhindar dari penyakit mata


DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah 2. Padjajaran Bandung; Bandung.
Istiqomah, dkk. 2004. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Mata. EGC; Jakarta.
Radjamin, Tamin. 1984. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga University : Surabaya.

Kamis, 14 Juli 2011

Blefaritis

A. PENDAHULUAN


Blefaritis adalah radang pada kelopak mata. Radang yang sering terjadi pada kelopak merupakan radang kelopak dan tepi kelopak. Radang bertukak atau tidak pada tepi kelopak bisanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut. Blefaritis ditandai dengan pembentukan minyak berlebihan di dalam kelenjar di dekat kelopak mata yang merupakan lingkungan yang disukai oleh bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di kulit.
Blefaritis dapat disebabkan infeksi dan alergi yang biasanya berjalan kronis atau menahun. Blefaritis alergi dapat terjadi akibat debu, asap, bahan kimia, iritatif, dan bahan kosmetik. Infeksi kelopak dapat disebabkan kuman streptococcus alfa atau beta, pneumococcus, dan pseudomonas. Di kenal bentuk blefaritis skuamosa, blefaritis ulseratif, dan blefaritis angularis.
Gejala umum pada blefaritis adalah kelopak mata merah, bengkak, sakit, eksudat lengket dan epiforia. Blefaritis sering disertai dengan konjungtivitis dan keratitis.
Biasanya blefaritis sebelum diobati dibersihkan dengan garam fisiologik hangat, dan kemudian diberikan antibiotik yang sesuia. Penyulit blefaritis yang dapat timbul adalah konjungtivitis, keratitis, hordeolum, kalazoin, dan madarosis.

B. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi blefaritis biasanya terjadi kolonisasi bakteri pada mata. Hal ini mengakibatkan invasi mikrobakteri secara langsung pada jaringan ,kerusakan sistem imun atau kerusakan yang disebabkan oleh produksi toksin bakteri , sisa buangan dan enzim. Kolonisasi dari tepi kelopak mata dapat ditingkatkan dengan adanya dermatitis seboroik dan kelainan fungsi kelenjar meibom.

C. ANATOMI

Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Palpebra merupakan alat penutup mata yang berguna untukmelindungi bola mata terhapat trauma, trauma sinar dan pengeringan mata.
Kelopak mempunyai lapisan kulit yang tipis pada bagian depan sedang di bagian belakang ditutupi selaput lendir tarsus yang disebut konjungtiva tarsal.
Pada kelopak terdapat bagian-bagian :
• Kelenjar seperti kelenjar sebasea, kelenjar moll atau kelenjar keringat, kelenjar zeis pada pangkal rambut, dan kelenjar meibom pada tarsus.
• Otot seperti : M. Orbikularis okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak. M. Orbikularis berfungsi menutup bola mata yang dipersarafi N. fasial. M. Levator palpebra berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau membuka mata.
• Di dalam kelopak terdapak tarsus yang merupakan jaringan ikat dengan kelenjar di dalamnya atau kelenjar Meibom yang bermuara pada margo palpebra.
• Septum orbita yang merupakan jaringan fibrosa berasal dari rima orbita merupakan pembatas isi orbita dengan kelopak depan.


D. ETIOLOGI
Terdapat 2 jenis blefaritis, yaitu :
1. Blefaritis anterior : mengenai kelopak mata bagian luar depan (tempat melekatnya bulu mata). Penyebabnya adalah bakteri stafilokokus dan seborrheik. Blefaritis stafilokok dapat disebabkan infeksi dengan Staphylococcus aureus, yang sering ulseratif, atau Staphylococcus epidermidis atau stafilokok koagulase-negatif. Blefaritis seboroik(non-ulseratif) umumnya bersamaan dengan adanya Pityrosporum ovale.
2. Blefaritis posterior : mengenai kelopak mata bagian dalam (bagian kelopak mata yang lembab, yang bersentuhan dengan mata). Penyebabnya adalah kelainan pada kelenjar minyak. Dua penyakit kulit yang bisa menyebabkan blefaritis posterior adalah rosasea dan ketombe pada kulit kepala (dermatitis seboreik).

E. KLASIFIKASI
1. Blefaritis superfisial
Bila infeksi kelopak superfisial disebabkan oleh staphylococcus maka pengobatan yang terbaik adalah dengan salep antibiotik seperti sulfasetamid dan sulfisolksazol. Sebelum pemberian antibiotik krusta diangkat dengan kapas basah. Bila terjadi blefaritis menahun maka dilakukan penekanan manual kelenjar Meibom untuk mengeluarkan nanah dari kelenjar Meibom (Meibormianitis), yang biasanya menyertai.1
2. Blefaritis Seboroik
Blefaritis sebore biasanya terjadi pada laki-laki usia lanjut (50 Tahun), dengan keluhan mata kotor, panas dan rasa kelilipan. Gejalanya adalah sekret yang keluar dari kelenjar Meiborn, air mata berbusa pada kantus lateral, hiperemia dan hipertropi papil pada konjungtiva. Pada kelopak dapat terbentuk kalazion, hordeolum, madarosis, poliosis dan jaringan keropeng.
Blefaritis seboroik merupakan peradangan menahun yang sukar penanganannya. Pengobatannya adalah dengan memperbaiki kebersihan dan membersihkan kelopak dari kotoran. Dilakukan pembersihan dengan kapas lidi hangat. Kompres hangat selama 5-10 menit. Kelenjar Meibom ditekan dan dibersihkan dengan shampoo bayi. Penyulit yang dapat timbul berupa flikten, keratitis marginal, tukak kornea, vaskularisasi, hordeolum dan madarosis.
3. Blefaritis Skuamosa
Blefaritis skuamosa adalah blefaritis disertai terdapatnya skuama atau krusta pada pangkal bulu mata yang bila dikupas tidak mengakibatkan terjadinya luka kulit. Merupakan peradangan tepi kelopak terutama yang mengenai kulit di daerah akar bulu mata dan sering terdapat pada orang yang berambut minyak. Blefaritis ini berjalan bersama dermatitik seboroik.
Penyebab blefaritis skuamosa adalah kelainan metabolik ataupun oleh jamur. Pasien dengan blefaritis skuamosa akan terasa panas dan gatal. Pada blefaritis skuamosa terdapat sisik berwarna halus-halus dan penebalan margo palpebra disertai madarosis. Sisik ini mudah dikupas dari dasarnya mengakibatkan perdarahan.
Pengobatan blefaritis skuamosa ialah dengan membersihkan tepi kelopak dengan shampoo bayi, salep mata, dan steroid setempat disertai dengan memperbaiki metabolisme pasien. Penyulit yang dapat terjadi pada blefaritis skuamosa adalah keratitis, konjungtivitis.
4. Blefaritis Ulseratif
Merupakan peradangan tepi kelopak atau blefaritis dengan tukak akibat infeksi staphylococcus. Pada blefaritis ulseratif terdapat keropeng berwarna kekunung-kuningan yang bila diangkat akan terlihat ulkus yang yang kecil dan mengeluarkan dfarah di sekitar bulu mata. Pada blewfaritis ulseratif skuama yang terbentuk bersifat kering dan keras, yang bila diangkat akan luka dengan disertai perdarahan. Penyakit bersifat sangat infeksius. Ulserasi berjalan lebih lanjut dan lebih dalam dan merusak folikel rambut sehingga mengakibatkan rontok (madarosis).
Pengobatan dengan antibiotik dan higiene yang baik. Pengobatan pada blefaritis ulseratif dapat dengan sulfasetamid, gentamisin atau basitrasin. Biasanya disebabkan stafilokok maka diberi obat staphylococcus. Apabila ulseratif luas pengobatan harus ditambah antibiotik sistemik dan diberi roboransia.
Penyulit adalah madarosis akibat ulserasi berjalan lanjut yang merusak folikel rambut, trikiasis, keratitis superfisial, keratitis pungtata, hordeolum dan kalazion. Bila ulkus kelopak ini sembuh maka akan terjadi tarikan jaringan parut yang juga dapat berakibat trikiasis.
5. Blefaritis angularis
Blefaritis angularis merupakan infeksi staphylococcus pada tepi kelopak di sudut kelopak atau kantus. Blefaritis angularis yang mengenai sudut kelopak mata (kantus eksternus dan internus) sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi puntum lakrimal. Blefariris angularis disebabkan Staphylococcus aureus. Biasanya kelainan ini bersifat rekuren.
Blefaritis angularis diobati dengan sulfa, tetrasiklin dan Sengsulfat. Penyulit pada pungtum lakrimal bagian medial sudut mata yang akan menyumbat duktus lakrimal.
6. Meibomianitis
Merupakan infeksi pada kelenjar Meibom yang akan mengakibatkan tanda peradangan lokal pada kelenjar tersebut. Meibomianitis menahun perlu pengobatan kompres hangat, penekanan dan pengeluaran nanah dari dalam berulang kali disertai antibiotik lokal.


F. GAMBARAN KLINIK
Gejala :
1. Blefaritis menyebabkan kemerahan dan penebalan, bisa juga terbentuk sisik dan keropeng atau luka terbuka yang dangkal pada kelopak mata.
2. Blefaritis bisa menyebabkan penderita merasa ada sesuatu di matanya.
Mata dan kelopak mata terasa gatal, panas dan menjadi merah.
Bisa terjadi pembengkakan kelopak mata dan beberapa helai bulu mata rontok.
3. Mata menjadi merah, berair dan peka terhadap cahaya terang.
Bisa terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi kelopak mata; jika keropeng dilepaskan, bisa terjadi perdarahan. Selama tidur, sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak mata sukar dibuka.
Tanda :
• Skuama pada tepi kelopak
• Jumlah bulu mata berkurang
• Obstruksi dan sumbatan duktus meibom
• Sekresi Meibom keruh
• Injeksi pada tepi kelopak
• Abnormalitas film air mata

G. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan kelopak mata.

H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan utama adalah membersihkan pinggiran kelopak mata untuk mengangkat minyak yang merupakan makanan bagi bakteri. Bisa digunakan sampo bayi atau pembersih khusus. Untuk membantu membasmi bakteri kadang diberikan salep antibiotik (misalnya erythromycin atau sulfacetamide) atau antibiotik per-oral (misalnya tetracycline). Jika terdapat dermatitis seboroik, harus diobati. Jika terdapat kutu, bisa dihilangkan dengan mengoleskan jeli petroleum pada dasar bulu mata.

I. PROGNOSIS
Pada blefaritis prognosis sangat baik dan dapat hilang dengan terapi.

Radang Palpebra

Perhatikan anatomi dan fisiologi palpebra dan aparatus lakrimalis.

Hordeolum: peradangan supuratif glandula kelopak umumnya karena stafilokok.Terlihat ada benjolan,kemerahan, bengkak,dan nyeri tekan.. Bila mengenai kelenjar Meibom disebut hordeolum internum.Bila mengenai kelenjar Zeiss atau Moll biasanya lebih kecil dan superfisial disebut Hordeolum eksternum.

Kalazion : juga mengenai glandula Meibom,tetapi sebabnya tidak diketahui mungkin diawali dengan obstruksi glandula Meibom akibat infeksi,jaringan parut. Kadang-kadang tidak terlalu nyeri dan tidak memperlihatkan tanda radang akut.Hanya ada benjolan .

Entropion: Kelopak mata terputar ke arah ke dalam,dapat mengenai kelopak atas atau bawah.Dapat mengakibatkan bulu mata menyapu bola mata/kornea. Pada usia 40 an biasa muncul dan terbagi atas tipe spastik dan sikatrik.

Entropion sikatrisialis disebabkan terjadi parut pada konjungtiva tarsalis dan tarsus umumnya akibat Trakoma.Keadaan ini dapat menyebabkan Trikiasis yaitu bulumata ikut menekuk ke arah dalam sehingga menggaruk kornea dan menyebabkan iritasi kornea.

Ektropion: kelopak berputar ke luar umumnya ditemukan pada orangtua.Penyebabnya antara lain mengendur atau berkurangnya tonus otot orbikularis okuli atau karena paresis N VII.Terkadang juga disebabkan terbentuk sikatriks akibat kecelakaan yang penjahitan kelopaknya tidak sempurna sehingga menimbulkan tarikan pada margo palpebra.Gejalanya banyak air mata dan iritasi.

Ektropion senilis: terjadi karena kekenduran jaringan dan sering terlihat pada orangtua dengan keluhan mata berair.

Ektropion spastika : akibat spasme terutama otot Rioland yg terdapat pada margo palpebra.

Ektropion Paralitika : akibat cedera saraf fasialis yang mengakibatkan kelopak mata terpapar ke luar.

Dakriosistitis : peradangan sakus lakrimalis.umumnya mengikuti obstruksi duktus nasolakrimalis. Terlihat benjolan di daerah sakus disertai banyak air mata dan sekret purulen.Nyeri,inflamasi.Bila benjolan ditekan dapat keluar sejumlah sekret melalui pungta lakrimal. Pada bayi umumnya sumbatan terjadi akibat tidak terbukanya membran penghubung sakus lakrimal dengan rongga hidung.

Dakrioadenitis: peradangan glandula lakrimal yang terletak di temporal.Agak jarang terjadi dan biasanya baik pada anak atau dewasa mengiringi peradangan sistemik lain seperti campak, parotitis.

Penggunaan Kortikosteroid

PENDAHULUAN

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Mamfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi. Berdasarkan khasiatnya, kortikosteroid dibagi menjadi mineralokortikoid dan glukokortikoid. Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme elektrolit Na dan K, yaitu menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, maka mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Sedangkan glukokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa, anti imunitas, efek neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi.

BIOSINTESIS DAN KIMIA

Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan.

Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.

MEKANISME KERJA

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.

Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.

FARMAKOKINETIK


Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protei dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.

Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati.

Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.

Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

FARMAKODINAMIK

Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.

Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain.


Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.

Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya.

Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.

Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α- fluorokortisol. Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja lama (>36 jam).

Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid :


Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut :

Metabolisme
Metabolisme karbohidrat dan protein.

Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer.

Hormone ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.

Metabolisme lemak

Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.

Keseimbangan air dan elektrolit

Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.

System kardiovaskular

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.

Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.

Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah.

Otot rangka

Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak terjadi kerusakan otot
maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria.

Susunan saraf pusat

Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.

Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.

Elemen pembentuk darah

Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik yang ringan.

Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah pemberian glukokortikoid.

Efek anti-inflamasi dan imunosupresif

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.

Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.

Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.

Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.

Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan plateletaktivating factor.

Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.

Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.

Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.


Jaringan limfoid dan sistem imunologi

Glukokortikoid tidak menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit ke daerah inflamasi.

Pertumbuhan

Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.

Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.

INDIKASI

Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan:

Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.

Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.

Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.

Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek antiinflamasinya.

Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.

Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan.

Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.

Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.

Terapi substitusi

Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).

Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:
*      Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.
*      Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.
*      Hyperplasia adrenal congenital.
*      Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.

Terapi non-endokrin.
Dibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian disini adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Berikut adalah kasus yang menggunakan preparat kortikosteroid:
*      Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
*      Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid.
*      Karditis reumatik.
*      Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
*      Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat.
*      Asma bronchial dan penyakit saluran napas.
*      Penyakit alergi.
*      Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis).
*      Penyakit hepar.
*      Keganasan.
*      Gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun, leukemia, purpura alergika akut dll).
*      Syok.
*      Edema serebral.
*      Trauma sumsum tulang belakang.

Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau penyakit yang dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus, dermatitis seboroik, dll). Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya.

Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.


DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN

Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya.

Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai dermatosis :


Mengurangi Dosis Steroid Sistemik

Jangan berhenti tiba-tiba penggunaan steroids sistemik; terutama penting jika Anda telah menggunakan selama lebih dari enam bulan. Sebagai contoh:
*      Tidak diperlukan penurunan jika penggunaan steroids telah kurang dari satu minggu.
*      Setelah mengambil dosis 30 mg atau lebih per hari untuk 3-4 minggu, mengurangi dosis 10 mg atau kurang per hari, butuh beberapa hari hingga beberapa bulan untuk menghentikan semuanya.
*      Pengurangan dosis lambat mungkin diperlukan jika obat yang telah dilakukan selama beberapa bulan.


EFEK SAMPING

Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.


Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik

Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
· Gangguan tidur
· Meningkatkan nafsu makan
· Meningkatkan berat badan
· Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi

Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptik yang pinggul.

Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
*      Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
*      Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orangorang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
*      Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
*      Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
*      Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
*      Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
*      Kenaikan lemak darah (trigliserida).
*      Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
*      Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan dan gagal jantung.
*      Kegoyahan dan tremor.
*      Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak subcapsular posterior.
*      Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan, delirium atau depresi.
*      Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
*      Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya tuberkulosis).
*      Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
*      Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.

Pemantauan regular selama perawatan termasuk:
· Tekanan darah
· Berat badan
· Gula darah

DAFTAR PUSTAKA
1) Djuanda, A. 2007. “Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang Dermatovenereologi”. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
2) Katzung, B.G. 2002. “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Salemba Medika. Jakarta.
3) Suherman, S.K. 1999. “Farmakologi dan Terapi”. FKUI. Jakarta.

Prinsip Umum Penggunaan Antibiotik

1. Terapi empirik harus berdasarkan data epidemiologi setempat.
2. Lakukan pewarnaan Gram, kultur dan tes sensitivitas sebelum memulai terapi antibiotik
3. Terapi definit harus berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas patogen penyebab. Pada kondisi dimana kultur tidak dapat dilakukan/tidak berhasil, terapi dilakukan berdasarkan patogen penyebab yang paling mungkin menurut data statistik dan epidemiologi.
4. Pemilihan agen, dosis, cara pemberian dan durasi terapi antibiotik ditentukan oleh hal-hal berikut:
  • Aktivitas spektrum antibiotik tersebut terhadap patogen penyebab
  • Farmakokinetik obat
  • Faktor pejamu, seperti usia, kehamilan, fungsi ginjal dan hepar
  • Efek samping yang mungkin timbul pada pejamu atau fetus.
5. Terapi antimikroba yang dipilih harusnya yang paling efektif dan sespesifik mungkin untuk melawan patogen penyebab, yang paling tidak toksik, dan paling tidak mahal. Lebih disukai penggunaan antibiotik spektrum sempit.
6. Kombinasi antibiotik diindikasikan pada keadaan sebagai berikut:
  • Efek sinergistik, seperti pada kasus Endokarditis Bakterialis
  • Mencegah resistensi, seperti pada kasus TB
  • Memberi cakupan untuk beberapa patogen pada kasus infeksi campur
  • Memberi cakupan spektrum luas secara empiris pada pasien dengan infeksi yang berpotensial fatal sambil menunggu data bakteriologi.
7. Drainase secara bedah wajib dilakukan untuk mengatasi abses, dengan beberapa pengecualian.
8. Terapi parenteral berdosis tinggi dan lama, penting pada penatalaksanaan Endokarditis Bakterialis, osteomielitis dan infeksi jaringan yang hampir mati (devitalized tissue).
9. Terkadang perlu untuk menghilangkan material asing untuk menyembuhkan infeksi seperti pada katup jantung prostetik atau implan sendi.

Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penggunaan Antibiotika

Antibiotik berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari Anti (lawan), Bios (hidup). Antibiotik adalah Suatu zat kimia atau senyawa obat yang alami maupun sintetik, yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang berupa bakteri ataupun jamur yang berkhasiat sebagai obat apabila digunakan dalam dosis tertentu dan berkhasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman ataupun mikroorganisme lainnya (yang bersifat parasit), dan toksisitasnya tidak berbahaya bagi manusisa. Obat antibiotik yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Antibiotik hanya untuk bakteri dan tidak digunakan untuk virus.

Faktor Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Penggunaan Antibiotika
Harus mempertimbangkan faktor-faktor :
• Gambaran klinis adanya infeksi yang diderita
• Faktor sensitivitas bakteri terhadap antibiotik
• Fungsi ginjal dan hati pasien
• Biaya pengobatan

Antibiotika Kombinasi diberikan apabila pasien :
• Pengobatan infeksi campuran
• Pengobatan pada infeksi berat yang belum jelas penyebabnya
• Efek sinergis
• Memperlambat resistensi

Penggolongan Obat Antimikroba (Antibiotik)
1) Golongan Antibiotik Berdasarkan daya bunuh atau daya kerjanya dalam zat bakterisid dan zat bakteriostatis dikelompokkan menjadi :
a) Bakterisid :
Antibiotika yang bakterisid secara aktif membasmi kuman. Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin, isoniazid dll.
b) Bakteriostatik :
Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan kuman, TIDAK MEMBUNUHNYA, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Termasuk dalam golongan ini adalah sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, makrolida, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dll.
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya terbatas, yakni pada kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan kondisi yang sangat lemah (debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi imunologik tidak boleh memakai antibiotika bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.

2) Penggolongan Berdasarkan spektrum kerja antibiotik yaitu luas aktivitas, artinya aktif terhadap banyak atau sedikit jenis mikroba. Dapat dibedakan antibiotik dengan aktivitas sempit dan luas
a) spektrum luas (aktivitas luas) : antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri gram positif dan gram negative. Contoh antibiotik dalam kelompok ini adalah sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan rifampisin.
b) spektrum sempit (aktivitas sempit) : antibiotik yang bersifat aktif bekerja hanya terhadap beberapa jenis mikroba saja, bakteri gram positif atau gram negative saja. Contohnya eritromisin, klindamisin, kanamisin, hanya bekerja terhadap mikroba gram-positif. Sedang streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif.

3) Penggolongan Berdasarkan cara kerjanya
Antibiotika golongan ini dibedakan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika dilihat dari target atau sasaran kerjanya
a) Inhibitor sintesis atau mengaktivasi enzim yang merusak dinding sel bakteri sehingga menghilangkan kemampuan berkembang biak dan sering kali terjadi lisis, mencakup golongan Penicsillin, Polipeptida, sikloserin, basitrasin, vankomisin dan Sefalosporin, misalnya ampisillin, penisillin G;
b) Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid;
c) Inhibitor sintesis protein, yang mengganggu fungsi ribosom bakteri, menyebabkan inhibisi sintesis protein secara reversibel, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, oxytetracycline.
d) Inhibitor fungsi membran sel, mempengaruhi permeabilitas sehingga menimbulkan kehilangan senyawa intraselular. misalnya ionomycin, valinomycin dan polimiksin
e) Inhibitor fungsi sel lainnya, misalnya difiksasi pada subunit ribosom 30 S menyebabkan timbunan kompleks pemula sintesis protein, salah membaca kode mRNA, produksi polipeptida abnormal. Contoh aminoglikosida, golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomycin, tunicamycin; dan
f) Antimetabolit yang mengganggu metabolisme asam nukleat. Contoh rifampin (inhibisi RNA polimerase yang dependen DNA),azaserine.
Pembagian ini walaupun secara rinci menunjukkan tempat kerja dan mekanismenya terhadap kuman, namun kiranya kurang memberikan manfaat atau membantu praktisi dalam memutuskan pemilihan obat dalam klinik. Masing-masing cara klasifikasi mempunyai kekurangan maupun kelebihan, tergantung kepentingannya.

4) Penggolongan Berdasarkan penyakitnya.
a) Golongan Penisilin
Dihasilkan oleh fungi Penicillinum chrysognum. Memiliki cincin b-laktam yang diinaktifkan oleh enzim b-laktamase bakteri. Aktif terutama pada bakteri gram (+) dan beberapa gram (-). Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi pada saluran napas bagian atas (hidung dan tenggorokan) seperti sakit tenggorokan, untuk infeksi telinga, bronchitis kronik, pneumonia, saluran kemih (kandung kemih dan ginjal). Adapun contoh obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : Ampisilin dan Amoksisilin. Untuk meningkatkan ketahanan thp b-laktamase : penambahan senyawa untuk memblokir & menginaktivasi b-laktamase. Misalnya Amoksisilin + asam klavulanat, Ampisilin + sulbaktam, Piperasilin + tazobaktam.
Efek samping : reaksi alergi, syok anafilaksis, kematian,Gangguan lambung & usus. Pada dosis amat tinggi dapat menimbulkan reaksi nefrotoksik dan neurotoksik. Aman bagi wanita hamil & menyusui
b) Golongan Sefalosporin
Dihasilkan oleh jamur Cephalosporium acremonium. Spektrum kerjanya luas meliputi bakteri gram positif dan negatifObat golongan ini barkaitan dengan penisilin dan digunakan untuk mengobati infeksi saluran pencernaan bagian atas (hidung dan tenggorokan) seperti sakit tenggorokan, pneumonia, infeksi telinga, kulit dan jaringan lunak, tulang, dan saluran kemih (kandung kemih dan ginjal). Adapun contoh obat yang termasuk dalam golongan ini antara lain : Sefradin, Sefaklor, Sefadroksil, Sefaleksin, E.coli, Klebsiella dan Proteus. Penggolongan sefalosporin berdasarkan aktivitas & resistensinya terhadap b-laktamase.
Generasi I : aktif pada bakteri gram positif. Pada umumnya tidak tahan pada b laktamase. Misalnya sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil. Digunakan secara oral pada infeksi saluran kemih ringan, infeksi saluran pernafasan yang tidak serius
Generasi II : lebih aktif terhadap kuman gram negatif. Lebih kuat terhadap blaktamase. Misalnya sefaklor, sefamandol, sefmetazol,sefuroksim
Generasi III : lebih aktif terhadap bakteri gram negatif , meliputi Pseudomonas aeruginosa dan bacteroides. Misalnya sefoperazone, sefotaksim, seftizoksim, sefotiam, sefiksim.Digunakan secara parenteral,pilihan pertama untuk sifilis
Generasi IV : Sangat resisten terhadap laktamase. Misalnya sefpirome dan sefepim
c) Golongan Lincosamides
Dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis dan bersifat bakteriostatis. Obat golongan ini dicadangkan untuk mengobati infeksi berbahaya pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pada kasus yang tidak sesuai diobati dengan penisilin. Spektrum kerjanya lebih sempit dari makrolida, terutama terhadap gram positif dan anaerob. Penggunaannya aktif terhadap Propionibacter acnes sehingga digunakan secara topikal pada acne. Adapun contoh obatnya yaitu Clindamycin (klindamisin) dan Linkomycin (linkomisin).
d) Golongan Tetracycline
Diperoleh dari Streptomyces aureofaciens & Streptomyces rimosus. Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi jenis yang sama seperti yang diobati penisilin dan juga untuk infeksi lainnya seperti kolera, demam berbintik Rocky Mountain, syanker, konjungtivitis mata, dan amubiasis intestinal. Dokter ahli kulit menggunakannya pula untuk mengobati beberapa jenis jerawat. Adapun contoh obatnya yaitu : Tetrasiklin, Klortetrasiklin, Oksitetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin.
Khasiatnya bersifat bakteriostatik , pada pemberian iv dapat dicapai kadar plasma yang bersifat bakterisid lemah.Mekanisme kerjanya mengganggu sintesis protein kuman Spektrum kerjanya luas kecuali thp Psudomonas & Proteus. Juga aktif terhadap Chlamydia trachomatis (penyebab penyakit mata), leptospirae, beberapa protozoa. Penggunaannya yaitu infeksi saluran nafas, paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata. Namun dibatasi karena resistensinya dan efek sampingnya selama kehamilan & pada anak kecil.
e) Golongan Kloramfenikol
Bersifat bakteriostatik terhadap Enterobacter & S. aureus berdasarkan perintangan sintesis polipeptida kuman. Bersifat bakterisid terhadap S. pneumoniae, N. meningitidis & H. influenza. Obat golongan ini digunakan untuk mengobati infeksi yang berbahaya yang tidak efektif bila diobati dengan antibiotic yang kurang efektif. Penggunaannya secara oral, sejak thn 1970-an dilarang di negara barat karena menyebabkan anemia aplastis. Sehingga hanya dianjurkan pada infeksi tifus (salmonella typhi) dan meningitis (khusus akibat H. influenzae). Juga digunakan sebagai salep 3% tetes/salep mata 0,25-1%. Contoh obatnya adalah Kloramfenikol, Turunannya yaitu tiamfenikol.
f) Golongan Makrolida
Meliputi eritromisin, klaritromisin, roxitromisin, azitromisin, diritromisin serta spiramisin. Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerjanya yaitu pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga mengganggu sintesis protein. Penggunaannya merupakan pilihan pertama pada infeksi paru-paru. Digunakan untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian atas seperti infeksi tenggorokan dan infeksi telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah seperti pneumonia, untuk infeksi kulit dan jaringan lunak, untuk sifilis, dan efektif untuk penyakit legionnaire (penyakit yang ditularkan oleh serdadu sewaan). Sering pula digunakan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin.
g) Golongan Kuinolon
Berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman, dgn menghambat enzim DNA gyrase bakteri sehingga menghambat sintesa DNA. Digunakan untuk mengobati sinusitis akut, infeksi saluran pernafasan bagian bawah serta pneumonia nosokomial, infeksi kulit dan jaringan kulit, infeksi tulang sendi, infeksi saluran kencing, Cystitis uncomplicated akut, prostates bacterial kronik, infeksi intra abdominal complicated, demam tifoid, penyakit menular seksual, serta efektif untuk mengobati Anthrax inhalational.
Penggolongan :
Generasi I : asam nalidiksat dan pipemidat digunakan pada ISK tanpa komplikasi
Generasi II : senyawa fluorkuinolon misal siprofloksasin, norfloksasin, pefloksasin,ofloksasin. Spektrum kerja lebih luas, dan dapat digunakan untuk infeksi sistemik lain.
Zat-zat long acting : misal sparfloksasin, trovafloksasin dan grepafloksasin.Spektrum kerja sangat luas dan meliputi gram positif.
h) Aminoglikosida
Dihasilkan oleh fungi Streptomyces & micromonospora.Mekanisme kerjanya : bakterisid, berpenetrasi pada dinding bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom dalam sel Contoh : streptomisin, kanamisin, gentamisin, amikasin, neomisin
Penggunaan Aminoglikosida Streptomisin & kanamisin Þ injeksi pada TBC juga pada endocarditis,Gentamisin, amikasin bersama dengan penisilin pada infeksi dengan Pseudomonas,Gentamisin, tobramisin, neomisin juga sering diberikan secara topikal sebagai salep atau tetes mata/telinga,Efek samping : kerusakan pada organ pendengar dan keseimbangan serta nefrotoksik.
i) Monobaktam
Dihasilkan oleh Chromobacterium violaceum Bersifat bakterisid, dengan mekanisme yang sama dengan gol. b-laktam lainnya.Bekerja khusus pada kuman gram negatif aerob misal Pseudomonas, H.influenza yang resisten terhadap penisilinase Contoh : aztreonam
j) Sulfonamide
Merupakan antibiotika spektrum luas terhadap bakteri gram positrif dan negatif. Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerja : mencegah sintesis asam folat dalam bakteri yang dibutuhkan oleh bakteri untuk membentuk DNA dan RNA bakteri. Kombinasi sulfonamida : trisulfa (sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dengan perbandingan sama),Kotrimoksazol (sulfametoksazol + trimetoprim dengan perbandingan 5:1),Sulfadoksin + pirimetamin.
Penggunaan:
Infeksi saluran kemih : kotrimoksazol
Infeksi mata : sulfasetamid
Radang usus : sulfasalazin
Malaria tropikana : fansidar.
Mencegah infeksi pada luka bakar : silver sulfadiazine.
Tifus : kotrimoksazo.
Radang paru-paru pada pasien AIDS : kotrimoxazol
Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan teruama trimeseter akhir : icterus, hiperbilirubinemia
k) Vankomisin
Dihasikan oleh Streptomyces orientalis.Bersifat bakterisid thp kuman gram positif aerob dan anaerob.Merupakan antibiotik terakhir jika obat-obat lain tidak ampuh lagi
l) Golongan Antibiotika Kombinasi
Kegunaannya dapat dikelompokkan berdasarkan jalur pemberiannya, antara lain :
i) Penggunaan Oral dan Parenteral : infeksi saluran kemih, Shigellosis enteritis, treatment pneumocystis carinii pneumonia pada anak dan dewasa.
ii) Penggunaan Oral : Profilaksis pneumocystis carinii pneumonia pada individu yang mengalami imunosupresi, otitis media akut pada anak-anak, eksaserbasi akut pada bronchitis kronik pasien dewasa.
Secara klasik selalu dianjurkan bahwa kombinasi antibiotik bakterisid dan bakteriostatik akan merugikan oleh karena antibiotik bakterisid bekerja pada kuman yang sedang tumbuh, sehingga kombinasi dengan jenis bakteriostatik akan memperlemah efek bakterisidnya. Tetapi konsep ini mungkin tidak bisa begitu saja diterapkan secara luas dalam klinik, oleh karena beberapa kombinasi yang dianjurkan dalam klinik misalnya penisilin (bakterisid) dan kloramfenikol (bakteriostatik) justru merupakan alternatif pengobatan pilihan untuk meningitis bakterial yang umumnya disebabkan oleh kuman Neisseria meningitides. Pada umumnya, penggunaan kombinasi dari dua atau lebih antibiotik tidak dianjurkan, apalagi kombinasi dengan dosis tepat. Untuk suatu mikroba penginfeksi, kombinasi antibiotik dapat bersifat sinergik (kombinasi dua antibiotik yang bersifat bakterisid), additif (kombinasi dua antibiotik yang bersifat bakteriostatik) dan antagonis (kombinasi antibiotik bakteriostatik dan bakterisid). Pemakaian kombinasi antibiotika mengandung risiko misalnya adanya akumulasi toksisitas yang serupa, misalnya nefrotoksisitas aminoglikosida dan nefrotoksisitas dari beberapa jenis sefalosporin. Kemungkinan juga dapat terjadi antagonisme, kalau prinsip-prinsip kombinasi di atas tidak ditaati, misalnya kombinasi penisilin dan tetrasiklin. Walaupun pemakaian beberapa kombinasi dapat diterima secara ilmiah, tetap diragukan perlunya kombinasi tetap oleh karena kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Sebagai contoh kombinasi tetap penisilin dan streptomisin justru akan meyebabkan inaktivasi dari masing-masing antibiotika oleh karena terjadinya kerusakan secara kimiawi.

Penggunaan kombinasi antibiotik yang tepat harus dapat mencapai sasaran sebagai berikut :
1. Kombinasi bekerja sinergik terhadap mikroba penyebab infeksi
2. Kombinasi mencegah terjadi resistensi mikroba
3. Kombinasi sebagai tindak awal penanganan infeksi, bertujuan mencapai spektrum kerja luas pada infeksi yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme
4. Kombinasi antibiotik digunakan untuk menangani beberapa infeksi sekaligus.

Resistensi Antibiotik
Bakteri dikatakan resisten bila pertumbuhannya tidak dapat dihambat oleh kadar maksimum antibiotik yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Resistensi adalah ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu. Resistensi alamiah adalah jika beberapa mikroba tidak peka terhadap antibiotik tertentu karena sifat mikroba secara alamiah tidak dapat diganggu oleh antibiotik tersebut. Resistensi kromosomal terjadi karena mutasi spontan pada gen kromosom. Resistensi kromosomal dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan primer, mutasi terjadi sebelum pengobatan dengan antibiotik dan selama pengobatan terjadi seleksi bibit yang resisten. Dan golongan sekunder, mutasi terjadi selama kontak dengan antibiotik kemudian terjadi seleksi bibit yang resistensi. Resistensi silang dapat terjadi dengan cara transformasi yaitu pelepasan DNA dari sel donor yang mengalami lisis pindah ke sel penerima, cara transduksi yaitu pemindahan gen yang resisten dengan bantuan bakteriofag dan cara konjugasi yaitu pemindahan gen karena adanya kontak sel dengan sel dan terbentuk jembatan plasma. Resistensi ekstra kromosomal, yang berperan adalah faktor R yang terdapat diluar kromosom yaitu didalam sitoplasma. Faktor R ini diketahui membawakan resistensi bakteri terhadap berbagai antibiotik.

Penggunaan Antibiotik
Secara umum, berdasarkan ditemukannya kuman penyebab infeksi atau tidak, maka terapi antibiotika dapat dibagi menjadi dua, yakni terapi secara empiris dan terapi pasti.
1. Terapi secara empiris:
Pada banyak keadaan infeksi, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui atau dipastikan pada saat terapi antibiotika dimulai. Dalam hal ini pemilihan jenis antibiotika diberikan berdasarkan perkiraan kemungkinan kuman penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman yang layak (pengalaman klinis) atau berdasarkan pada pola epidemiologi kuman setempat.
Pertimbangan utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini mungkin akan memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut dari infeksinya, misalnya dalam menghadapi kasus-kasus infeksi berat, infeksi pada pasien dengan kondisi depresi imunologik.
Keberatan dari terapi empirik ini meliputi, kalau pasien sebenarnya tidak menderita infeksi atau kalau kepastian kuman penyebab tidak dapat diperoleh kemudian karena sebab-sebab tertentu (misalnya tidak diperoleh spesimen), maka terapi antibiotika seolah-olah dilakukan secara buta.
2. Terapi pasti (definitif):
Terapi ini dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang sudah pasti, jenis kuman maupun spektrum kepekaannya terhadap antibiotika.
Dalam praktek sehari-hari, mulainya terapi antibiotika umumnya dilakukan secara empiris. Baru kalau hasil pemeriksaan mikrobiologis menunjukkan ketidakcocokan dalam pemilihan antibiotika, maka antibiotika dapat diganti kemudian dengan jenis yang sesuai.

Efek Samping Antibiotik
Toksisitas selektif terhadap bakteri yang menginvasi tidak menjamin hospes bebas dari efek yang tidak diinginkan, karena obat dapat menimbulkan respon alergik atau bersifat toksik yang tidak berkaitan dengan aktivitas antibiotik:
1. Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi apabila jumlah antigen masuk relatif banyak atau bila status imunologik seseorang, baik humoral maupun selular meningkat.
2. Toksisitas langsung
Toksisitas langsung yaitu kadar antibiotika yang tinggi dalam serum dapat menimbulkan toksisitas pada proses selular melalui organ tubuh penderita langsung.
3. Superinfeksi
Superinfeksi merupakan keberadaan data klinis maupun bakteriologi pengaruh penghambatan pertumbuhan dari flora normal.