PENDAHULUAN
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Mamfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi. Berdasarkan khasiatnya, kortikosteroid dibagi menjadi mineralokortikoid dan glukokortikoid. Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme elektrolit Na dan K, yaitu menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, maka mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Sedangkan glukokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa, anti imunitas, efek neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi.
BIOSINTESIS DAN KIMIA
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.
MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.
FARMAKOKINETIK
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protei dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
FARMAKODINAMIK
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain.
Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Mamfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi. Berdasarkan khasiatnya, kortikosteroid dibagi menjadi mineralokortikoid dan glukokortikoid. Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme elektrolit Na dan K, yaitu menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, maka mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Sedangkan glukokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa, anti imunitas, efek neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi.
BIOSINTESIS DAN KIMIA
Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.
MEKANISME KERJA
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.
FARMAKOKINETIK
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protei dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-a2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh.
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
FARMAKODINAMIK
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain.
Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat antiinflamasinya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.
Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α- fluorokortisol. Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan kerja lama (>36 jam).
Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid :
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut :
Metabolisme
Metabolisme karbohidrat dan protein.
Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer.
Hormone ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.
Metabolisme lemak
Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.
Keseimbangan air dan elektrolit
Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel.
System kardiovaskular
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.
Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah.
Otot rangka
Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak terjadi kerusakan otot
maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria.
Susunan saraf pusat
Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison.
Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.
Elemen pembentuk darah
Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik yang ringan.
Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah pemberian glukokortikoid.
Efek anti-inflamasi dan imunosupresif
Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi.
Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam.
Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan plateletaktivating factor.
Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.
Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.
Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.
Jaringan limfoid dan sistem imunologi
Glukokortikoid tidak menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit ke daerah inflamasi.
Pertumbuhan
Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.
INDIKASI
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan:
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah.
Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek antiinflamasinya.
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif.
Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.
Terapi substitusi
Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:
* Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.
* Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.
* Hyperplasia adrenal congenital.
* Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.
Terapi non-endokrin.
Dibawah ini dibahas beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis, tetapi diobati dengan glukokortikoid. Dasar pemakaian disini adalah efek anti-inflamasinya dan kemampuannya menekan reaksi imun. Berikut adalah kasus yang menggunakan preparat kortikosteroid:
* Fungsi paru pada fetus. Penyempurnaan fungsi paru fetus dipengaruhi sekresi kortisol pada fetus. Betametason atau deksametason selama 2 hari diberikan pada minggu ke 27-34 kehamilan. Dosis terlalu banyak akan mengganggu berat badan dan perkembangan kelenjar adrenal fetus.
* Artriris. Kortikosteroid hanya diberikan pada pasien arthritis rheumatoid yang sifatnya progresif, dengan pembengkakan dan nyeri sendi yang hebat sehingga pasien tidak dapat bekerja, meskipun telah diberikan istirahat, terapi fisik dan obat golongan anti-inflamasi nonsteroid.
* Karditis reumatik.
* Penyakit ginjal. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada sindrom nefrotik yang disebabkan lupus eritematus sistemik atau penyakit ginjal primer, kecuali amiloidosis.
* Penyakit kolagen. Pemberian dosis besar bermanfaat untuk eksaserbasi akut, sedangkan terapi jangka panjang hasilnya bervariasi. Untuk scleroderma umumnya obat ini kurang bermanfaat.
* Asma bronchial dan penyakit saluran napas.
* Penyakit alergi.
* Penyakit mata (konjungtivitis alergika, uveitis akut, neuritis optika, koroiditis).
* Penyakit hepar.
* Keganasan.
* Gangguan hematologik lain (anemia hemolitik acquaired dan autoimun, leukemia, purpura alergika akut dll).
* Syok.
* Edema serebral.
* Trauma sumsum tulang belakang.
Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau penyakit yang dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus, dermatitis seboroik, dll). Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya.
Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.
DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya.
Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai dermatosis :
Mengurangi Dosis Steroid Sistemik
Jangan berhenti tiba-tiba penggunaan steroids sistemik; terutama penting jika Anda telah menggunakan selama lebih dari enam bulan. Sebagai contoh:
* Tidak diperlukan penurunan jika penggunaan steroids telah kurang dari satu minggu.
* Setelah mengambil dosis 30 mg atau lebih per hari untuk 3-4 minggu, mengurangi dosis 10 mg atau kurang per hari, butuh beberapa hari hingga beberapa bulan untuk menghentikan semuanya.
* Pengurangan dosis lambat mungkin diperlukan jika obat yang telah dilakukan selama beberapa bulan.
EFEK SAMPING
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik
Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut:
· Gangguan tidur
· Meningkatkan nafsu makan
· Meningkatkan berat badan
· Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptik yang pinggul.
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
* Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
* Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orangorang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
* Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
* Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
* Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).
* Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
* Kenaikan lemak darah (trigliserida).
* Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
* Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan dan gagal jantung.
* Kegoyahan dan tremor.
* Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak subcapsular posterior.
* Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan, delirium atau depresi.
* Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
* Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya tuberkulosis).
* Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-inflamasi.
* Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.
Pemantauan regular selama perawatan termasuk:
· Tekanan darah
· Berat badan
· Gula darah
DAFTAR PUSTAKA
1) Djuanda, A. 2007. “Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang Dermatovenereologi”. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai penerbit FK UI. Jakarta.
2) Katzung, B.G. 2002. “Farmakologi Dasar dan Klinik”. Salemba Medika. Jakarta.
3) Suherman, S.K. 1999. “Farmakologi dan Terapi”. FKUI. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar